Bersatu Kita Teguh (6)

Portal Wartawan, MAKASSAR – Saya belum “move on” dari pembahasan tentang “jatuh,” karena ada banyak “gangguan”. Tanggapan pembaca terkadang di luar alur pikir saya yang terbatas. Respon mereka sering tidak terduga di benak saya.

Seorang teman mengatakan, kejatuhan bisa menjadi dasar persatuan, bahkan lahirnya keutuhan itu dari sebuah proses jatuh, namanya jatuh hati. Syaratnya, hati yang dijatuhi itu juga membalas, tidak bertepuk sebelah hati. Kalau keduanya jatuh hati adalah langkah awal terjadinya pertautan hati dan dari situ dimulailah keberlanjutan kehidupan.

Bahkan seorang cerdik-cendekia, Prof. Sofyan Salam, menanggapi panjang coretan saya, bahwa dalam tradisi lokal yang dipahaminya, istilah jatuh itu bisa bermakna netral, tidak mesti bermakna negatif atau merugikan. Bahkan bisa bermakna positif, misalnya jatuh cinta. Faktanya, banyak yang ingin mengulangi pengalaman jatuh seperti itu. Prof. Sofyan lebih ekstrim lagi menyebut ungkapan lokal yang berarti “jatuh ke atas,” ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan tampakan kejatuhan yang dialami seseorang padahal itu adalah proses menuju puncak.

Namun teman lain melihat istilah jatuh itu sering memang ditujukan pada hal yang negatif, misalnya: sudah jatuh ketimpa tangga. Itulah sebabnya teman itu mengulas mengapa orang tidak mengatakan “hujan jatuh” tapi “hujan turun” padahal hujan itu adalah air yang mengalami proses kejatuhan dari awan. Hujan tidak dipersepsi sebagai jatuh karena hujan itu adalah rahmat bagi kehidupan. Ada juga ungkapan “jatuh-bangun” untuk memastikan bahwa jatuh itu berada di sisi yang kurang menguntungkan.

Baca Juga :  Pantau Perkembangan Calon Pesilat, Pimda 027 Malang Gelar Invitasi Kejurda TSPM se-Jawa Timur

Tapi terlepas dari makna konotatif yang dihadirkan oleh jatuh, saya lebih bersemangat saat mengingat petuah teman lain, bahwa untuk merasakan pentingnya bangkit kita sesekali perlu jatuh. Tidak ada orang dengan kemampuan memanjat yang hebat tanpa pengalaman jatuh.

Petuah terakhir ini kurang pas bagi saya. Karena di antara teman-teman kecil saya, hanya saya yang tidak bisa memanjat. Faktornya, saat saya mencoba memanjat, saya langsung terjatuh. Masalahnya bukan persoalan jatuhnya, saat saya bangkit ingin memanjat lagi, bersamaan dengan Kalajengking jatuh dan menempel di kerah baju saya. Saat ingin mencoba lagi memanjat di lain waktu, yang terngiang adalah ketakutan pada sengatan Kalajengking.

Tapi percayalah, takdir jatuh itu dihadirkan Tuhan, bukan sekadar pemaknaan bahwa itu karena pengaruh gravitasi. Kita tidak membahas bahwa orang terjatuh karena gaya tarik bumi. Yang kita selami, kita perlu jatuh sesekali sebagai pemicu kebangkitan. Kata motivator, jatuh itu pelajaran untuk menjadi lebih kuat. Kata teman, jatuh itu bisa terasa nikmat, bila jatuh ke pangkuan. Dan kehangatan itu terjadi bila jatuhnya ke pangkuan Ibu. Dan lebih dahsyat lagi jiwa kebangsaan kita, bila jatuhnya ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Oleh:
Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin